“Wah, merah sekali bibirmu?”
Aku pandangi
dengan seksama rona merah itu, mengingatkanku pada sesuatu.
Seperti rona
darah pada irisan daging segar, sekiranya rona gairah.
Ah bukan,
ternyata rona lampion di depan kios ini.
“Iya, cepat saja
ya, masih banyak yang mengantri. Aku barang baru disini.” sahutnya.
Ia kecup
bibirku, namun pedih sekali rasanya. Kutanya, “faktor uang?”
“bukan..”
jawabnya singkat sembari nafasnya mendengus.
Ia jelajahi
urat nadi leherku, tetap perih sekali rasanya. Kutanya, “lantas?”
Bibir itu
sesaat terhenti diujung daun telingaku, nafasnya memburu.
“Tolong..” kesenduannya
berbisik.
No comments:
Post a Comment