Tuesday, June 11, 2013

Gincu


“Wah, merah sekali bibirmu?” 

Aku pandangi dengan seksama rona merah itu, mengingatkanku pada sesuatu.
Seperti rona darah pada irisan daging segar, sekiranya rona gairah.
Ah bukan, ternyata rona lampion di depan kios ini.
“Iya, cepat saja ya, masih banyak yang mengantri. Aku barang baru disini.” sahutnya.

Ia kecup bibirku, namun pedih sekali rasanya. Kutanya, “faktor uang?”
“bukan..” jawabnya singkat sembari nafasnya mendengus.
Ia jelajahi urat nadi leherku, tetap perih sekali rasanya. Kutanya, “lantas?”
Bibir itu sesaat terhenti diujung daun telingaku, nafasnya memburu.

“Tolong..” kesenduannya berbisik.

No comments:

Post a Comment