Diawali dengan pikiran tentang bapakku. Akhir-akhir ini dia
terasa lebih keras dalam mendidik, jauh lebih keras dari semasa awal lulus SMA
dan awal kuliah dulu. Ya mungkin ini titik krusial dalam hidupku, segala kuliah
teori sudah selesai dan semester depan mulai resmi menulis skripsi meskipun
sudah kucicil dari sekarang. Bukan IPK, dengan IPK seginipun dia tidak puas. “Sudah kamu di Surabaya saja, nggak usah pulang, mengembangkan
diri disana.” SMS nya beberapa waktu lalu. Apa dikira anaknya nggak kangen ngobrol
bareng dengan dia? dasar bapak.
Tiba-tiba teringat salah satu blog seorang jurnalis kenalan
dosenku. Ini blognya, klik saja. Menarik sekali, konsepnya mencurahkan segala jenis
pikirannya kepada anaknya yang masih balita. Begini header blognya,
“Namamu River.
Itu sebentuk doa. Agar nanti hidupmu seperti sungai, tahu kemana harus
bermuara.
Aku mulai menulis ini ketika kau masih dalam perut ibumu. Duduklah, Nak, karena masih banyak hal yang ingin aku ceritakan kepadamu. Ayah yang banyak bicara ini hanya ingin menunjukkan semacam rasa syukur untuk Sang Pemilik Hidup, dan juga ungkapan terima kasih untukmu.
Terima kasih, karena telah lahir melalui kami....”
Aku mulai menulis ini ketika kau masih dalam perut ibumu. Duduklah, Nak, karena masih banyak hal yang ingin aku ceritakan kepadamu. Ayah yang banyak bicara ini hanya ingin menunjukkan semacam rasa syukur untuk Sang Pemilik Hidup, dan juga ungkapan terima kasih untukmu.
Terima kasih, karena telah lahir melalui kami....”
Kesan dalam yang kutangkap. Regenerasi dan kaderisasi.
Mungkin itu yang tiap ayah lakukan ke puteranya, agar jangan kalah dengan dirinya,
lebih baik dari ayahnya. Tiap ayah punya caranya masing-masing, mungkin juga
begitu dengan bapakku.. tapi sulit sekali mencerna caranya. Seperti kata
orang-orang disekitarku yang bilang kalau cara dan kemauanku pun itu sulit
dicerna. Kemauannya keras semua, tapi lucu juga kalau mengingat kenapa dulu aku dan
bapakku sering saling adu urat karena beda pendapat, hehe buah apel tidak jatuh
jauh dari pohonnya.
Aku teringat setiap ke rumah simbahku dari bapakku di
karanganyar lereng gunung lawu sana, selalu didongengi lewat wayang, mulai dari
punakawan, pandawa hingga kurawa pada baratayuda. Tapi otomatis terhenti saat
simbah “tindak” sewaktu pertengahan SMP, simbah si perokok berat yang panjang
usia. Banyak yang tak kupahami, tapi beberapa ada yg masih terpatri sampai
sekarang. Bijaknya semar, kokohnya arjuna, garangnya bima. Berbeda dengan
bapakku yang dulu lebih suka bercerita tentang abu nawas dan beberapa kisah
hidupnya, kebanyakan pahitnya. Nikmat sekali dulu, memberi fondasi perilaku dan
mental lewat cerita, mudah dipahami dan dicerna. Tidak seperti sekarang. Serba
tersirat, memutar otak dan merogoh batin.
Mungkin bapakku merasa sudah waktunya anaknya cari arah jalan
sendiri, fondasi dan petunjuk sudah
cukup diberikan. Seperti river, sudah seharusnya tahu kemana harus bermuara.
Tadi selepas maghrib ada SMS dari bapakku, “Gimana kabar?
Magang gimana? Lesnya? Sudah kepikiran mau jadi apa?”
“Besok aja tak ceritain kalo pulang.” balasku.
Biar dia
kangen. Tapi aku harus membuatnya senang, mumpung masih sempat.
No comments:
Post a Comment