Saturday, October 10, 2015

Kopi dan Tembakau Lokal


Sabtu di Kingsford sini kali ini diawali oleh pagi yang lumayan cerah, dan sudah seperti rutinitas jika setiap bangun tidur untuk selalu cek pesan dan surel di smartphone. Namun kali ini sedikit berbeda, terdapat 300an lebih chat dari salah satu grup relawan ketika dulu di Jogja sana. Ternyata sedang anget-angetnya para relawan baru saling mengakrabkan diri. Satu pola yang sama seperti tahun lalu, cinlok oleh oknum yang sama. Satu pola lagi yang tertangkap, waktu terasa cepat sekali berputar. Ya seperti kata para matematikawan, hidup ini hanya tentang kejelian dalam menangkap pola-pola di kehidupan yang tidak beraturan.

Secara acak salah dua sahabat kami saling cela tentang jodoh masing-masing, terlebih sedang maraknya isu Umi Kalsum dan Nurcahaya S.Pd. Namun demi keakraban, kami sudah sering saling melempar celaan, hinaan, dan ejekan tentang jodoh terhadap sesama relawan. Lalu obrolan melebar dan berpindah tempat ke social media Path. Kulempar saja quotes dari salah satu kyai kondang dari Malaysia sana, bunyinya “Kawin itu pakai cinta, tidak perlu pakai duit. Saya cinta dia, dia cinta saya; kita akan kawin. Allah punya rahasia.”, dengan tujuan cek air sebelum membully lebih lanjut. Satu kata pancingan yang dilempar oleh Boy kawan kami, “Makrifat.”

Aku pribadi masih dalam taraf sangat awam tentang makna “makrifat” dalam lingkup hidup sebagai seorang muslim. Tapi toh ngapain dibuat serius, hidup kan cuma mampir guyon. Makrifat-pun kami buat bahan becandaan, meskipun di kehidupan nyata syariat kami masih belepotan. Bukan tentang agama, tetapi tentang membribik wedok yang tepat. Ada satu hal yang perlu di pahami terlebih dahulu, yaitu tentang hakikat membribik wedok di post ini.

Ketika sudah bicara makrifat, kami sepakat bahwa target operasi adalah seseorang yang kedepannya mampu untuk kita “manunggaling” dengannya. Memandangnya dan sekitarnya sebagai subyek, bukan lagi obyek sehingga tak mungkin ada daya lagi untuk menguasainya. Bertingkah laku bukan sebagai wakilnya, melainkan sebagai individu yang menyertainya. Memperlakukannya seperti memperlakukan diri sendiri.


Tentu berbeda dengan cara manunggaling ala muda-mudi di Ostrali sini seperti yang sering kulihat. Begitu mudahnya di sini muda-mudi “manunggal” tanpa embel-embel dan syarat-syarat, murni. Istilahnya, suka sama suka, ya sama ya, oke sama oke, ho-oh sama ho-oh; you enak, I  enak; simpel. Mungkin ini yg bikin mereka selalu terlihat penuh gairah ketika beraktivitas. Kontras dengan pandangan mayoritas lingkunganku ketika di kampung sana bahwa susah mencapai manunggaling tanpa embel-embel; ambil mudahnya: hal material.

Kalau tak ada aset material, maka tak bisa manunggaling. Mungkin pola pikir seperti itu yang bikin mayoritas pemuda indo merasa mampu menguasai perempuan ketika aset materialnya sedang tebal. Jika perempuan hanya dipandang dengan pendekatan materi, maka bukan lagi subyek yang terlihat namun obyek pelampiasan. Lantas apa bedanya dengan memandang pelacur? Pantas saja kami masih jelalatan. Bahkan hal sakral, bisa kami anggap hanya layaknya transaksi jual-beli.

Apapun itu, tetap saja hal di atas tidak bisa dijadikan pembenaran. Karena manunggaling ala muda-mudi ostrali sini hanya sebatas berdasar pada hasrat, sedangkan makrifat memerlukan fondasi yang lebih mulia dari hasrat. Lantas, hati nurani? Tak usah dijawab, cukup dipikirkan saja dalam kepala sendiri. Jika tak mampu, lalu apa beda kita dengan ayam kebelet kawin?



Persis seperti refleksi lagu Members Only



Members only
It's a private party
Don't need no money
To qualify
Don't bring your checkbook
Bring your broken heart
'Cause it's members only, tonight

Say you lost your woman
Say you lost your man
You gotta lot a problems
All in your life
Well, they're throwing a party
For the broken hearted
And it's members only, tonight”



– Bobby Blue Bland



Butuh kesamaan untuk manunggal, tapi bukan sembarang kesamaan. Hal klasik memang, materialism vs idealism. Seperti para utopis vs para realis.


Malam ini sepertinya lebih syahdu, berkat alunan lagu dari radio favorit semasa kuliah di Surabaya dulu. Playlist khas yang selalu membawa kenangan ketika menyantap rawon di warkop tongkrongan bersama teman kampus, ketika menghisap kretek kesukaan ditemani kopi hitam racikan lokal, ketika saling mengkhayal bersama mau dibawa ke mana masa depan kami.

Selamat kepada Zaman, salah satu kawan warkop kami, yang hari ini resmi mengucap Ijab Qabul terhadap perempuan yang dipacarinya sejak kuliah. Tanpa menunggu aset material menumpuk, perkiraan kami. Segala doa yang baik dari kami untukmu dan keluargamu, bro.

Lantas, dapatkah kita tarik polanya? 


Sydney, 2015.


No comments:

Post a Comment