Sabtu di Kingsford sini kali ini diawali oleh pagi
yang lumayan cerah, dan sudah seperti rutinitas jika setiap bangun tidur untuk selalu
cek pesan dan surel di smartphone. Namun kali ini sedikit berbeda, terdapat
300an lebih chat dari salah satu grup relawan ketika dulu di Jogja sana.
Ternyata sedang anget-angetnya para relawan baru saling mengakrabkan diri. Satu
pola yang sama seperti tahun lalu, cinlok oleh oknum yang sama. Satu pola lagi
yang tertangkap, waktu terasa cepat sekali berputar. Ya seperti kata para matematikawan,
hidup ini hanya tentang kejelian dalam menangkap pola-pola di kehidupan yang
tidak beraturan.
Secara acak salah dua sahabat kami saling cela
tentang jodoh masing-masing, terlebih sedang maraknya isu Umi Kalsum dan
Nurcahaya S.Pd. Namun demi keakraban, kami sudah sering saling melempar celaan,
hinaan, dan ejekan tentang jodoh terhadap sesama relawan. Lalu obrolan melebar
dan berpindah tempat ke social media Path. Kulempar saja quotes dari salah satu
kyai kondang dari Malaysia sana, bunyinya “Kawin itu pakai cinta, tidak perlu
pakai duit. Saya cinta dia, dia cinta saya; kita akan kawin. Allah punya
rahasia.”, dengan tujuan cek air sebelum membully lebih lanjut. Satu kata
pancingan yang dilempar oleh Boy kawan kami, “Makrifat.”
Aku pribadi masih dalam taraf sangat awam
tentang makna “makrifat” dalam lingkup hidup sebagai seorang muslim. Tapi toh
ngapain dibuat serius, hidup kan cuma mampir guyon. Makrifat-pun kami buat
bahan becandaan, meskipun di kehidupan nyata syariat kami masih belepotan.
Bukan tentang agama, tetapi tentang membribik wedok yang tepat. Ada satu hal
yang perlu di pahami terlebih dahulu, yaitu tentang hakikat membribik wedok di
post ini.
Ketika sudah bicara makrifat, kami sepakat
bahwa target operasi adalah seseorang yang kedepannya mampu untuk kita “manunggaling”
dengannya. Memandangnya dan sekitarnya sebagai subyek, bukan lagi obyek
sehingga tak mungkin ada daya lagi untuk menguasainya. Bertingkah laku bukan sebagai
wakilnya, melainkan sebagai individu yang menyertainya. Memperlakukannya
seperti memperlakukan diri sendiri.
Tentu berbeda dengan cara manunggaling ala
muda-mudi di Ostrali sini seperti yang sering kulihat. Begitu mudahnya di sini
muda-mudi “manunggal” tanpa embel-embel dan syarat-syarat, murni. Istilahnya,
suka sama suka, ya sama ya, oke sama oke, ho-oh sama ho-oh; you enak, I enak; simpel. Mungkin ini yg bikin mereka
selalu terlihat penuh gairah ketika beraktivitas. Kontras dengan pandangan
mayoritas lingkunganku ketika di kampung sana bahwa susah mencapai manunggaling tanpa embel-embel; ambil mudahnya: hal
material.
Kalau tak ada aset material, maka tak bisa manunggaling. Mungkin pola
pikir seperti itu yang bikin mayoritas pemuda indo merasa mampu menguasai
perempuan ketika aset materialnya sedang tebal. Jika perempuan hanya dipandang
dengan pendekatan materi, maka bukan lagi subyek yang terlihat namun obyek
pelampiasan. Lantas apa bedanya dengan memandang pelacur? Pantas saja kami
masih jelalatan. Bahkan hal sakral, bisa kami anggap hanya layaknya transaksi jual-beli.
Apapun itu, tetap saja hal di atas tidak bisa
dijadikan pembenaran. Karena manunggaling ala muda-mudi ostrali sini hanya
sebatas berdasar pada hasrat, sedangkan makrifat memerlukan fondasi yang lebih
mulia dari hasrat. Lantas, hati nurani? Tak usah dijawab, cukup dipikirkan saja
dalam kepala sendiri. Jika tak mampu, lalu apa beda kita dengan ayam kebelet kawin?
Persis
seperti refleksi lagu Members Only
“Members only
It's a private party
Don't need no money
To qualify
Don't bring your checkbook
Bring your broken heart
'Cause it's members only, tonight
Say you lost your woman
Say you lost your man
You gotta lot a problems
All in your life
Well, they're throwing a party
For the broken hearted
And it's members only, tonight”
It's a private party
Don't need no money
To qualify
Don't bring your checkbook
Bring your broken heart
'Cause it's members only, tonight
Say you lost your woman
Say you lost your man
You gotta lot a problems
All in your life
Well, they're throwing a party
For the broken hearted
And it's members only, tonight”
– Bobby Blue Bland
Butuh kesamaan untuk manunggal, tapi
bukan sembarang kesamaan. Hal klasik memang, materialism vs idealism. Seperti
para utopis vs para realis.
Malam ini sepertinya lebih syahdu,
berkat alunan lagu dari radio favorit semasa kuliah di Surabaya dulu. Playlist
khas yang selalu membawa kenangan ketika menyantap rawon di warkop tongkrongan
bersama teman kampus, ketika menghisap kretek kesukaan ditemani kopi hitam racikan lokal, ketika saling mengkhayal bersama mau dibawa ke mana masa depan kami.
Selamat kepada Zaman, salah satu
kawan warkop kami, yang hari ini resmi
mengucap Ijab Qabul terhadap perempuan yang dipacarinya sejak kuliah. Tanpa menunggu aset material menumpuk, perkiraan kami. Segala
doa yang baik dari kami untukmu dan keluargamu, bro.
Lantas, dapatkah kita tarik polanya?
Sydney, 2015.
No comments:
Post a Comment