Saturday, August 21, 2010

aduh, gatalnya

Jadi mahasiswa tukang nongkrong, aktivis, atau akademisi?

Subyektif saja, coret tukang nongkrong, nongkrong itu perlu, tp jgn sampai jadi mahasiswa ‘tukang’ nongkrong. Menjadi aktivis bukan perkara mudah, menyedot banyak sekali waktu, kalau kebablasan, jatah waktu untuk urusan akademik pun bisa ikut tersedot. Belum lagi jatah otak untuk urusan akademik pun ikut tersita. Namun, kita sebagai mahasiswa mendapat beban moral untuk memajukan bangsa ini. Flashback ke masa silam, siapa dibalik boedi oetomo, siapa dibalik sumpah pemuda, siapa dibalik merdekanya bangsa ini, siapa dibalik tritura, siapa dibalik reformasi, siapa pendiri bangsa ini, siapa kaum yang mempelopori majunya negeri ini? mahasiswa. Mahasiswa lah yang menjadi agent of change, pembawa perubahan bagi bangsa ini untuk mencapai kemakmuran, kemajuan, dan terbebasnya kesewenang-wenangan yang menimpa rakyatnya.

Kenapa mahasiswa ? Karena kaum inilah satu-satunya kaum minoritas yang berintelektual, terdidik, kritis dan independen. Kaum inilah yang bebas menyuarakan secara lantang kebobrokan bangsa yang terjadi di masyarakat, kepada para penentu kebijakan bangsa yang seolah menutup mata dan telinganya sendiri karena terikat berbagai kepentingan, terhadap realita yang ada. Intinya mahasiswa secara tak langsung diberi beban moral untuk membangun dan memacu bangsa ini untuk lebih maju. Mahasiswa yang menjalankan tugas moralnya melalui berbagai organisai inilah yang disebut mahasiswa aktivis.

Mahasiswa akademisi mengesampingkan dunia ‘aktivis’ untuk memperoleh nilai dan ilmu yang maksimal. Mayoritas waktunya di kampus digunakan untuk menimba ilmu akademik, bahkan sampai meninggalkan kegiatan organisasi. Memajukan negeri tidak harus dengan menyerukan suara-suara rakyat. Dengan nilai akademik yang bagus, jalan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi semakin terbuka lebar. Apalagi untuk mahasiswa yang lulus dengan predikat cumlaude. Setelah lulus dan bekerja, ia bisa mengabdikan dirinya untuk negeri ini. Membangun negeri ini dengan jalan yang berbeda, dengan prestasi.

Ironisnya tidak semuanya mahasiswa yang telah sukses dan menjadi ‘orang’ yang mapan ikut membangun negeri ini, kebanyakan dari mereka hanya membangun keluarganya sendiri, agar makmur, agar bisa bertahan di negeri yang bobrok ini, hanya bertahan demi dirinya sendiri tanpa mau ikut memperbaiki, apatis. Tidak sedikit juga anak bangsa yang saat diberi kesempatan kuliah di luar negeri, setelah lulus enggan kembali ke negerinya. Membangun negeri orang terlihat lebih menarik dan memberikan kemakmuran ketimbang membangun negeri sendiri.

Bukan hanya itu, mahasiswa aktivis yang sukses menyerukan suaranya, lantas ditarik pemerintah. Dalih untuk membantu pemerintah membangun negeri dengan memberikan ide-ide dan kritikan, malah dibungkam dengan cara-cara halus. Dengan diberi beberapa kepentingan yang nyaman, membuat suaranya tak setajam dan selantang saat menjadi aktivis dulu, mengerikan.

Lantas harus bagaimana? Jadilah mahasiswa yang bisa menyeimbangkan akademis dengan organisasi. Teorinya memang terlihat mudah, tapi praktek jauh lebih susah. Jalani kehidupan kampus dengan ikhlas, pintarlah membagi waktu, dan istiqomah. Banyak yang bisa dijadikan contoh, mahasiswa yang sukses secara akademis dan organisasi, bahkan ikut membangun bangsa ini. Pelajari, bisa melalui membaca biografi tokoh-tokoh tersebut, lalu mengaplikasikannya di kehidupan. Selama ada niat, usaha, doa dan keyakinan, pasti selalu ada jalan.

Jangan jadi mahasiswa yang menutup mata dengan kehidupan sekitar. Jangan jadi mahasiswa yang hanya mengejar nilai semata. Jangan jadi mahasiswa yang hanya bisa berorganisasi. Jangan jadi mahasiswa yang lupa jati diri. Jangan jadi mahasiswa yang mudah dibungkam. Jangan jadi mahasiswa yang lupa apa itu 'mahasiswa'


tumben ya nulis ginian, tugas ospek kampus nih, guk!

No comments:

Post a Comment