Tadi ketika sedang menunggu antrian print di perpustakaan
fakultas hukum dan sembari membunuh rasa tidak sabaran karena kekhawatiran
tidak bisa mengejar jam tarawih berjamaah di kampus, iseng saja buka linimasa
twitter dan nemu twit menarik dari @sudjiwotedjo yang isinya:
Lalu teringat akan waktu dan ruang. Hal-hal
yang terkadang sepele sering kita lupakan, tapi begitu krusial ketika kita
tersadar begitu pentingnya dua variable tersebut.
Pertama, hal ini agak berasa sedikit
sentimental karena Ramadhan ini untuk pertama kalinya benar-benar terlepas dari
dimensi ruang dan dimensi waktu. Dimensi ruang dan dimensi waktu yang semenjak
dulu selalu saya anggap remeh karena selalu menjalani Ramadhan di dalam zona
nyaman, sehingga terkesan sepele. Padahal sepengalaman
saya pribadi, tidak ada sejarahnya Ramadhan dilalui tanpa dihadiri “bumbu”
penyedap.
Kedua, jadi mengingatkan diri tentang salah satu post di
blog ini bertajuk dongeng romansa jawa (klik di sini). Di mana Durga dan Kala saling hinggap di diri Uma dan Siwa
Ketiga, beberapa minggu yang lalu tetiba saya
diingatkan oleh seorang teman (yang lebih mengerti hal spiritual wuku) untuk
lebih waspada melalui pelajaran lakon Yamadipati.
Keempat, jadi teringat kisah Nabi Khidir
tentang dimensi waktu dan ruang ketika sedang dalam perjalanan dengan Nabi Musa
di mana tiga kejadian tentang pengrusakan kapal, pembunuhan anak kecil, dan
perbaikan rumah reyot tersebut sangat terkait dengan kesadaran diri tentang
dimensi waktu sekarang, masa depan, dan masa lalu.
Kalau anak kekinian sering menganggap hal
seperti ini sebagai “semesta berkonspirasi”, maka patut dipertanyakan firasat
apa yang akan datang. Pikiran ini jadi liar, hal apakah yang harus dipersiapkan
untuk menyikapi firasat ini?
Dimensi ruang sangat penting dalam hal
pembentukan strategi bagi seseorang untuk dapat dengan mudah menguasai keadaan ketika
dalam kondisi terdesak dan kurang diuntungkan. Ambil contoh seperti alur
strategi Rasulullah di perang badar dengan ruang bukitnya. Kemudian dimensi
waktu, banyak yang bilang bahwa orang yang tidak belajar dari masa lalunya maka
besar kemungkinan dia akan mengulang sejarah dengan jatuh pada kesalahan yang
pernah diperbuat. Sehingga dimensi waktu menjadi titik penting di sini untuk
mundur merefleksikan diri dengan masa lalu, dengan membawa pertimbangan masa
sekarang, untuk digunakan menghadapi masa depan. Buatku pribadi, ini seperti
pengingat bahwa ada dua variable yang terlupa untuk mengatasi firasat tersebut,
yaitu ruang dan waktu.
Kesadaran tidak semata membuatmu ada. Bagi orang jawa, cogito ergo sum adalah salah satu kesadaran yang paling dangkal. Karena hal tersebut hanya sebatas bentuk eksistensi, padahal orang jawa memiliki kesadaran yang jauh lebih tinggi: yaitu kesadaran bertahan hidup, kesadaran untuk tumbuh, dan kesadaran hakikat kolektif.
Kesadaran tidak semata membuatmu ada. Bagi orang jawa, cogito ergo sum adalah salah satu kesadaran yang paling dangkal. Karena hal tersebut hanya sebatas bentuk eksistensi, padahal orang jawa memiliki kesadaran yang jauh lebih tinggi: yaitu kesadaran bertahan hidup, kesadaran untuk tumbuh, dan kesadaran hakikat kolektif.
Untukmu: jangan jatuh karena ruang dan waktu
tapi manfaatkanlah ruang dan waktu, kenali siapa penguasanya. Siapakah kamu dan siapakah Dia?
“..kumithir bedah ing pinggir
dondomono, jrumatono..
kanggo sebo mengko sore
mumpung padhang rembulane..”
Selamat datang bulan Ramadhan.
Sydney, 2016.